Kesalahan Dan Presisi Ukuran


Sebuah perbandingan kesalahan (ratio or error) 1/300 sampai 1/500 dapat diperoleh untuk poligon transit-optis yang dilaksanakan dengan kecermatan biasa dan pembacaan baik bidikan depan dan bidikan belakang. Ketelitian dapat lebih baik jika bidikan-bidikan pendek pada poligon panjang dengan prosedur-prosedur khusus. Kesalahan dalam pekerjaan tachymetri biasanya bukan karena sudut-sudut tidak benar tetapi karena pembacaan rambu yang kurang benar. 
   Kesalahan 1 menit pada pembacaan rambu sebuah sudut vertikal tidak memberikan pengaruh yang berarti pada jarak horizontal. Galat 1 menit tadi menyebabkan selisih elevasi kurang dari 0,1 ft pada bidikan 300 ft untuk sudut-sudut vertikal ukuran biasa.
   Bila jarak optis ditentukan sampai foot terdekat (kasus umum), sudut-sudut horizontal ke titik-titik topografi hanya perlu dibaca sampai batas 5 atau 6 menit untuk memperoleh ketelitian yang sebanding pada bidikan 300 ft. Jarak optis yang diberikan sampai foot terdekat dianggap benar sampai batas kira-kira ½ ft. Dengan kesalahan jarak memanjang ½ ft itu, arahnya dapat menyimpang sebesar 5 menit (mudah dihitung dengan 1 menit = 0.00029).
    Ketelitian sipat datar trigonometris dengan jarak optis tergantung pada panjang bidikan dan ukuran sudut vertikal yang diperlukan.
Sumber-sumber kesalahan dalam pekerjaan tachymetri :
a. Kesalahan instrumental
-Benang tachymetri yang jaraknya tidak benar.
-Galat indeks.
-Pembagian skala rambu yang tidak benar.
-Garis bidik transit tidak sejajar garis arah nivo teropong.
b. Kesalahan operator
-Rambu tak dipegang tegak (hindari dengan pemakaian nivo rambu).
-Salah pembacaan rambu karena bidikan jauh.
-Kelalaian mendatarkan untuk pembacaan busur vertikal.

Kebanyakan kesalahan dalam pekerjaan tachymetri dapat dihilangkan dengan:
a. Menggunakan instrumen dengan benar
b. Membatasi panjang bidikan
c. Memakai rambu dan nivo yang baik
d. Mengambil harga rata-rata pembacaan dalam arah ke depan dan ke belakang.


Rumus Metode Tachymetri

Pada pengukuran titik detil kali ini, perhitungan jarak dan beda tinggi dilakukan dengan cara tachimetri . Dengan cara tachimetri maka beda tinggi titik-titik yang di ukur dan jarak datar dilakukan dengan cara tidak langsung karena yang diukur adalah sudut miring atau sudut zenith dan jarak optis.
Keterangan  gambar:
DAB                       : jarak horisontal dari titik A ke titik B
h                      :  sudut helling
ba                    : benang atas
bb                    : benang bawah
bt                     : benang tengah
tA                            : tinggi alat
            Rumus hitungan detil dengan metode tachimetri adalah sebagai berikut :
    1. Jarak dengan menggunakan rumus
dAB    = 100(ba-bb) cos2
    1. Jarak vertikal antara garis sejajar sumbu II dengan garis sejajar bt
v = dAB tan h
    1. Beda tinggi titik detil
∆hAB = ta + v - bt
    1. Tinggi titik tiap detil (nilai Z)
      HB = HA + ΔhAB

Sebelum dimulai pengukuran, terlebih dahulu dibuat sketsa yang berisi perencanaan kode tiap detil-detil baik detil planimetris maupun detil spotheight. Tahapan pengukuran detil adalah :
1.    Dirikan teodolith di titik poligon. Lakukan centering dan sumbu I vertikal.
2.    Arahkan teropong ke salah satu titik poligon yang digunakan sebagai titik acuan. Kemudian baca dan catat lingkaran horisontalnya
3.    Dirikan rambu ukur di atas salah satu titik detil
4.  Arahkan teropong pada rambu ukur. Baca dan catat benang atas, benang tengah, benang bawah, bacaan lingkaran horisontal, dan bacaan lingkaran vertikal.
5. Pengukuran detil planimetris dilakukan dengan membidik pojok-pojok detil sehingga membentuk geometri dari detil tersebut. Sedangkan pembidikan detil spotheight dilakukan tergantung dari kerapatan titik detil yang diinginkan

Pengenalan Metode Tachymetri


   Pengukuran titik-titik detail dengan metode Tachymetri ini adalah cara yang paling banyak digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini diperlukan alat yang dapat mengukur arah dan sekaligus mengukur jarak, yaitu Teodolite Kompas atau BTM (Boussole Tranche Montage). Pada alatalat tersebut arah-arah garis di lapangan diukur dengan jarum kompas sedangkan untuk jarak digunakan benang silang diafragma pengukur jarak yang terdapat pada teropongnya. Salah satu theodolite kompas yang banyak digunakan misalnya theodolite WILD TO. Tergantung dengan jaraknya, dengan cara ini titik-titik detail dapat diukur dari titik kerangka dasar atau dari titik-titik penolong yang diikatkan pada titik kerangka dasar.

  Selain benang silang tengah, diafragma transit atau theodolite untuk tachymetri mempunyai dua benang horizontal tambahan yang ditempatkan sama jauh dari tengah interval antara benang. Benang stadia itu pada kebanyakan instrumen memberikan perpotongan vertikal 1 ft pada rambu yang dipasang sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m). Jadi jarak ke rambu yang dibagi secara desimal dalam feet, persepuluhan dan perseratusan dapat langsung dibaca sampai foot terdekat. Ini sudah cukup seksama untuk menentukan detail-detail fotografi, seperti; sungai, jembatan, dan jalan yang akan digambar pada peta dengan skala lebih kecil daripada
1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft.

Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Pada gambar di atas, yang menggambarkan teropong pumpunan-luar, berkas sinar dari titik A dan B melewati pusat lensa membentuk sepasang segitiga sebangun AmB dan amb. Dimana ; AB = R adalah perpotongan rambu (internal stadia) dan ab adalah selang antara benang-benang stadia.
Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri :
f = jarak pumpun lensa (sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif tertentu). 
Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif (sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma), (jarak pumpun = focal length).
f1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.
F2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f2 tak terhingga atau amat besar, maka f1 = f.
i. = selang antara benang – benang Stadia.
f/i .= faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor).
c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa obyektif
Harga c sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan.
C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c d. = jarak dari titik pumpun di depan teropong ke rambu.
D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu

  Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolite, alat sipat datar dan dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor pengali f/i. Sama dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropongteropong pumpunan luar yang berbeda, tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft.

Satu-satunya variabel di ruas kanan persamaan adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. Yang telah dijelaskan adalah teropong pumpunan luar jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam (jenis yang dipakai sekarang pada instrumen ukur tanah) mempunyai kedudukan terpasang tetap sedangkan lensa pumpunan negatif dapat digerakkan antara lensa obyektif dan bidang benang silang untuk mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadia menjadi demikian kecil sehingga dapat dianggap nol.
Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen lama untuk menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern dibuat dengan garisgaris stadia pendek dan benang tenaga yang penuh (gambar 2) memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna. Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai, walaupun harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak pembawa tak akan berubah kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau diatur pada model-model lama. Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk bidikan horizontal berjarak diketahui sebesar D.
Kemudian, pada bentuk lain persamaan faktor pengali adalah f/i.= (D-C)/R.

Pengantar

      Untuk keperluan pengukuran dan pemetaan selain pengukuran kerangka dasar vertikal yang menghasilkan tinggi titik-titik ikat dan pengukuran kerangka dasar horizontal yang menghasilkan koordinat titik-titik ikat juga perlu dilakukan pengukuran titik-titik detail untuk menghasilkan titik-titik detail yang menggambarkan situasi daerah pengukuran. Pengukuran titik-titik detail dilakukan sesudah pengukuran kerangka dasar vertikal dan pengukuran kerangka dasar horizontal dilakukan. 
    Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, dan rawa, maupun hasil budaya manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, selokan, dan batas kepemilikan tanah (Slamet Basuki, 2006)
   Pemilihan detil, distribusi, dan teknik pengukurannya tergantung skala dan tujuan peta itu dibuat. Dalam pemilihan titik detil harus disesuaikan dengan kondisi lapangan, yaitu jangan terlalu jarang maupun terlalu rapat. Jika titik terlalu jarang maka hasil peta situasi tidak akan mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun jika terlalu rapat, kurang efisien. Untuk daerah datar cukup diambil beberapa titik saja tetapi untuk tanah bergelombang diambil titik efektifnya. Untuk parit atau selokan diambil data tentang kedalaman dan lebarnya
   Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Dalam pengukuran titik-titik detail pada prinsipnya adalah menentukan koordinat dan tinggi titik –titik detail dari titik-titik ikat. 
    Pengukuran titik-titik detail dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu offset dan tachymetri. Metode offset menggunakan peralatan sederhana, seperti pita ukur, jalon, meja ukur, mistar, busur derajat, dan lain sebagainya. Metode tachymetri menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Pengukuran metode tachymetri mempunyai keunggulan dalam hal ketepatan dan kecepatan dibandingkan metode offset, relatif cepat dan mudah karena yang diperoleh dari lapangan adalah pembacaan rambu, sudut horizontal (azimuth magnetis), sudut vertikal (zenith atau inklinasi) dan tinggi alat. Hasil yang diperoleh dari pengukuran tachymetri adalah posisi planimetris X, Y, dan ketinggian Z.

     

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons